“Tina, cewek berusia 17 tahun, Ia ramah, dan selalu menebar senyum ceriahnya. Tapi, Tina adalah seorang penderita “cerebral palsy”, sejenis kelainan tubuh, dimana beberapa bagian otot-otot tubuhnya kaku dan lumpuh. Karena kelainan ini pula, ia mengalami kesulitan untuk berbicara. Ia harus menggunakan alat bantu untuk menerobos hiruk-pikunya lorong sekolah.
Orang-orang agak enggan berbicara dengannya, mengapa ? Entahlah, mungkin karena ia kelihatan ‘berbeda’ dan siswa-siswa tidak tahu atau canggung untuk mendekatinya. Tetapi Tina adalah orang yang ramah. Ia tidak pernah bosan berkata “Hai” dengan orang-orang yang ditemuinya di lorong.
Tugas hari ini ialah menghafal puisi yang berjudul “Jangan Putus Asa”. Bobot nilai tugas ini hanya 10, berbeda dengan tugas-tugas lain seperti Quis- yang biasanya aku beri bobot 100 di kurikulum sekolah. Aku jadi ingat sewaktu sekolah dulu, jika ada guru yang memberi tugas dengan bobot nilai 10, pasti aku menganggapnya remeh ..yah karena itu tidak begitu penting, dan tidak berpengaruh banyak pada nilai indeks akhir semesterku.
Hari ini aku – seorang guru di sekolah ini – melihat Tina di kelasku untuk mengikuti tugas yang aku berikan pada murid-muridku. Aku menemukan ada yang lain pada dia.. ya ! dibalik senyum cerahnya itu ia seperti menyimpan kekhawatiran.. “Tidak usah cemas Tina” Kataku pada diri sendiri, “Bobot nilainya cuma 10.”
Aku mulai melaksanakan tugas yang aku berikan pada murid-muridku. Satu-per-satu mereka maju ke depan kelas – untuk mengucapkan puisi tanpa teks. Dan dapat kuduga, sebagian besar dari mereka ‘lupa’ atau hanya bisa menghapal sepotong dua potong kata dari puisi tersebut. Yah.. mereka juga tahu bahwa bobot nilai tugas ini hanya sedikit, dan aku tahu, mereka tidak begitu serius mempelajarinya.
Aku mulai bergurau pada mereka, “Jika ada yang masih tidak hapal, Bapak akan langsung suruh kalian push up 10 kali !”. Ya, ini hanya gurauan, dan seisi kelas pun tertawa karena ‘kekesalanku’ ini.
Aku tidak sadar, ternyata yang mendapatkan giliran maju ke depan kelas berikutnya adalah Tina.
Sepatah demi sepatah Tina mulai mengucapkan bait-bait puisi tersebut. Dan belum sampai akhir bait kedua… Ia mulai lupa. Sebelum aku mulai berkata, tiba-tiba Tina melempar alat bantu jalannya dan mulai mengambil posisi push up. Aku terkejut setengah mati, dan spontan berkata, “Tina, aku hanya bercanda !” Tina pun merangkak mengambil alat bantunya, kemudian – dengan bantuanku ia berdiri lagi, meneruskan puisinya.
Dan, Tina berhasil mengucapkan puisi itu secara sempurna ! tidak lupa sama sekali. Dia adalah salah satu diantara 3 muridku yang bisa mengucapkan puisi itu secara sempurna.
Ketika selesai berpuisi, salah satu murid bertanya padanya, “Tina, mengapa engkau bersikeras melakukannya ? Bukankah bobot nilainya cuma 10 ?” Tina memerlukan sedikit waktu sebelum menjawab, “Karena aku ingin seperti kalian, normal !”
Keheningan mulai menyelimuti seluruh kelas. Semua tiba-tiba diam – termasuk aku. Kesunyian ini pecah saat ketika seorang siswa berkata, “Tina, sejujurnya kami juga tidak normal, kami hanya anak-anak biasa, sering sekali berbuat kesalahan.”
“Aku tahu, ” Jawab Tina dengan senyum lebar menghias wajahnya.
Tina memperoleh nilai maksimal saat itu, Sepuluh ! dari bobot nilai yang sebesar 10 juga. Ia juga mendapatkan rasa sayang dan hormat dari teman-teman sekelasnya. Aku tahu betul, baginya, itu jauh lebih berharga dibandingkan nilai yang cuma berbobot sepuluh itu.
- Kisah nyata, Seperti yang dituturkan Tom Krause,br /Seorang Guru SMU di USA, pernah dimuat di Washington Post, 2002.