Pages

Subscribe:

Labels

Manajemen Pendapatan

Manajemen pendapatan (revenue management) adalah proses memahami, mengantisipasi dan menanggapi perilaku konsumen dalam rangka memaksimisasi pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit). Khusus memaksimisasi profit, perusahaan yang mengatur pendapatannya bisa melakukan manipulasi harga.

Manajemen ini tidak bisa serta-merta diterapkan untuk semua jenis industri. Ada kriteria yang harus dipenuhi:
1. Produknya tak tahan lama (perishable) Penggunaan pulsa telepon selular terikat dengan waktu (sehari hanya digunakan 24 jam, tak bisa lebih), dan jika tak digunakan maka pulsa tetap alias tak bergeming. Tak ada pendapatan yang bisa diambil oleh operator telepon selular itu.

2. Kapasitas produk atau layanan dibatasi. Dalam satu waktu, pengiriman SMS ucapan lebaran bisa terlambat karena keterbatasan kapasitas server data dan jalur lalu lintas interkoneksi. Pembangunan infrastruktur tambahan akan memakan biaya dan waktu.

3. Segmentasi Pasar. Penggunaan diskriminasi harga terhadap kartu prabayar dan pascabayar, atau peak-hour dan off-peak-hour fee merupakan strategi yang membidik pasar berbeda. Lebih banyak pengguna pascabayar yang memakai di peak hour adalah mereka yang memiliki status sosial ekonomi lebih mapan.

4. Produk atau layanan bisa dijual di muka. Dengan sistem prabayar, pulsa dibeli terlebih dahulu dalam jumlah tertentu. Hal ini bisa membuat operator lebih mudah dan lebih awal memprediksi pendapatan per bulannya. Termasuk juga menghitung dan memanipulasi permintaan dan harga.

5. Biaya variabel lebih kecil. Pembangunan infrastruktur telekomunikasi selular jauh lebih besar daripada biaya operasional hariannya. Selain itu jika biaya erhadap fixed cost (infrastruktur) telah kembali, setiap pemasukan adalah pendapatan dan profit.

6. Permintaan terhadap produk atau jasa berbeda setiap waktu. Penggunaan pulsa di pagi hingga sore hari sangat tinggi, dan penggunaan tengah malam sangat rendah. Manajemen pendapatan bisa mempengaruhi kurva permintaan dengan memberikan diskon dan bundling jasa untuk penggunaan di tengah malam.

Secara kasat mata memang mobile network operator (MNO) seperti Telkomsel atau IM3 tidak memicu kegagalan pasar, apalagi yang bersifat non-transitory. Kita beranggapan bahwa di dalam sebuah mekanisme pasar sempurna aspek layanan menjadi kompetitif sehingga membuat harga setiap operator bersaing. MNO yang memiliki posisi dominan tidak bisa mempertahankan profit supernormal di sektor ini, dan setiap pelanggan menikmati harga, layanan, dan pilihan terbaik.

Dengan menerapkan manajemen pendapatan dari sebuah operator yang memiliki posisi dominan di pasar, akan semakin terbuka peluang untuk memprediksi permintaan, dan selanjutnya mengatur harga. Ini baru satu operator. Jika dua operator yang memiliki porsi di pasar (market share) meraup hingga dari 90% total pelanggan telepon selular seluruh Indonesia, tentulah sektor ini tak cukup untuk pemain kecil bermain dan bernafas leluasa.

Selain itu, dari sisi permintaan pelanggan, terutama yang telah menggunakan nomor pelanggan sebagai identitas, tentulah mengganti nomor seperti mengganti nama diri. Hal ini merupakan bagian dari dikotomi Veblen (1904) yaitu institusi versus teknologi. Teknologi adalah dinamis, sedangkan orang atau institusi masyarakat memiliki nilai-nilai yang berubah lamban. Seiring dengan waktu, teknologi dibuat untuk kapasitas lebih banyak dengan harga lebih murah, di lain pihak institusi adalah statis. Veblen menekankan conspicuous consumption rule, di mana konsumen berlaku irasional dengan kebiasaan dan konvensi yang telah bertahun dilakoni dan telah membuat dirinya nyaman.

Untuk itu, mengawinkan sisi permintaan dan penawaran artifisial dalam jangka waktu lama merupakan bentuk gagal pasar. Penurunan harga adalah hal terakhir yang akan diambil operator selular yang memiliki posisi dominan, karena pelanggan mereka bisa di-manage untuk tetap menikmati layanan yang harganya seakan-akan turun dengan berbagai layanan, ataupun “dibuat nyaman dengan harga sekarang” dengan pengaruh iklan dan promosi.